Site icon SahataNews

Munculnya Lumpur Panas Didesa Roburan Dolok,Walhi Sumut Desak Pemerintah Cabut Izin PT SMGP

Medan — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk segera menghentikan operasional PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP), perusahaan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) yang beroperasi di Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara. Desakan ini didasarkan pada temuan terbaru terkait kerusakan lingkungan dan dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang semakin mengkhawatirkan.

Dilansir dari media Go Sumut,Direktur Eksekutif Walhi Sumut, Rianda Purba, dalam keterangan resminya pada Jumat (25/4), menyebut bahwa belasan titik semburan lumpur panas telah muncul di wilayah eksploitasi PT SMGP, khususnya di Desa Roburan Dolok, Kecamatan Panyabungan Selatan. Semburan yang mengandung bau menyengat ini, menurutnya, telah mematikan pohon-pohon karet milik warga dan merusak kualitas air di Sungai Aek Roburan, yang digunakan masyarakat untuk pertanian.

“Fenomena semburan lumpur panas sudah berlangsung selama dua tahun terakhir. Namun, perusahaan tidak memberikan penjelasan maupun respons yang memadai kepada masyarakat,” ujar Rianda.

Video semburan lumpur tersebut sempat viral di media sosial dan menjadi perhatian warga lokal, yang merasa diabaikan oleh pihak perusahaan meski telah berulang kali mengeluhkan dampaknya terhadap kesehatan dan lahan mereka.

Selain dampak lingkungan, Walhi juga menyoroti aspek hukum dan HAM terkait operasional PT SMGP. Berdasarkan hasil investigasi Komnas HAM RI, yang disampaikan melalui surat resmi Nomor 1057/PM.00/R/XII/2024 tertanggal 17 Desember 2024, ditemukan bahwa terdapat indikasi pelanggaran hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat di sekitar wilayah proyek.

Investigasi tersebut mengungkapkan bahwa warga di beberapa desa sekitar, seperti Desa Sibangor Julu dan Sibangor Tonga, secara rutin mencium bau menyengat yang menyebabkan gejala pusing, mual, hingga pingsan. Selain itu, tidak tersedia jalur evakuasi, Puskesmas dengan fasilitas memadai, ataupun sistem peringatan dini yang berfungsi dengan baik. Alat pendeteksi gas beracun juga dilaporkan tidak berfungsi.

Komnas HAM menyimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM yang bersifat sistematis, tidak hanya melibatkan pihak perusahaan, tetapi juga menunjukkan kelalaian dari instansi pemerintah terkait seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian ESDM.

“Tragedi keracunan massal pada 2024 dan insiden serupa pada 2021 yang menewaskan lima orang warga adalah bukti nyata bahwa PT SMGP tidak mengelola proyeknya dengan mengutamakan keselamatan dan hak warga sekitar,” tegas Rianda.

Walhi juga mempertanyakan legalitas izin operasional PT SMGP, termasuk keabsahan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Berdasarkan temuan mereka, tidak pernah ada sosialisasi kepada warga sebagaimana diwajibkan dalam proses penyusunan AMDAL. Hal ini berpotensi melanggar Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Walhi menilai, kegagalan pemerintah menindak pelanggaran ini menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap hak-hak masyarakat dan berpotensi menciptakan preseden buruk dalam pengelolaan energi terbarukan di Indonesia.

Atas dasar itu, Walhi Sumut mendesak:

  1. Pemerintah pusat dan daerah segera menghentikan seluruh kegiatan operasional PT SMGP.
  2. Instansi terkait mencabut izin lingkungan dan usaha perusahaan.
  3. Aparat penegak hukum mengusut dan memproses hukum pihak-pihak yang terlibat, baik dari perusahaan maupun lembaga yang berwenang dalam proses AMDAL dan pemberian izin.

“Keberadaan semburan lumpur dan keluhan warga yang terus diabaikan adalah alarm keras bahwa kegiatan ini membahayakan ruang hidup masyarakat. Pemerintah tidak boleh menutup mata,” tutup Rianda.(Red)

Exit mobile version