BALI (SAHATA) – Made Kasih, atau dikenal dengan nama Selepeg, tak kuasa menahan kekecewaan ketika divonis dua tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Amlapura. Petani sederhana asal Desa Seraya Timur, Karangasem, ini merasa ketidakadilan merobek haknya untuk mempertahankan tanah leluhur yang diwarisi dari generasi ke generasi. Tuduhan memberi kesaksian palsu dalam sengketa tanah keluarga telah menjadikan Selepeg sebagai “korban” dalam sistem yang dinilai kurang berpihak pada rakyat kecil.
Pada Kamis (15/8/2024), Majelis Hakim menyatakan bahwa Selepeg telah memalsukan silsilah keluarga dan dokumen bukti kepemilikan tanah dalam perkara perdata sengketa hak waris tanah bernomor 56/Pdt.G/2013/PN.Ap. Namun, Selepeg menyanggah, menegaskan bahwa bukti yang diajukan adalah dokumen asli milik keluarganya, termasuk pipil lontar dan tagihan pajak, sementara pihak penggugat hanya berbekal fotokopi yang tak pernah diverifikasi di persidangan.
“Fotokopi mereka dianggap lebih kuat daripada dokumen asli saya! Bagaimana mungkin ini bisa disebut adil?” ungkap Selepeg, Selasa (29/10/2024), dengan nada marah dan kecewa. “Kami datang membawa bukti nyata, sementara mereka cuma membawa fotokopi!”
Bagi Selepeg, keputusan ini bukan hanya tentang sengketa tanah; ini adalah hak hidupnya yang telah dirampas. Bertahun-tahun, ia mengolah tanah tersebut, hidup sederhana di rumah semi permanen, dan mengandalkan air hujan sebagai sumber kehidupan. Tanah itu tak hanya memberikan nafkah, tetapi juga menjadi warisan leluhur yang selalu dijaga.
Tuduhan kesaksian palsu ini menjadi pukulan berat, terutama karena kasus tersebut tidak mempertimbangkan bukti sahih yang ia miliki. Selepeg bahkan menduga adanya pengaruh kuat di balik gugatan yang diajukan oleh pihak pelapor. Rumor beredar bahwa seorang tokoh besar berlatar belakang politik berada di balik kasus ini. Namun, Selepeg memilih untuk tidak berbicara lebih jauh mengenai dugaan intervensi tersebut.
“Kami hanya petani kecil. Jika benar ada yang mencoba mengambil hak kami dengan cara ini, apakah masih ada keadilan untuk kami?” tanyanya getir.
Tidak menyerah begitu saja, Selepeg bersama penasihat hukumnya kini mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, berharap keadilan yang sesungguhnya masih bisa diraih. Selepeg menegaskan bahwa dirinya tak akan berhenti memperjuangkan tanah leluhurnya, karena putusan sebelumnya seakan-akan menghapus hak keluarganya yang telah bertahan puluhan tahun.
“Kami akan melawan hingga akhir. Kami percaya masih ada hakim yang berpihak pada kebenaran, bukan pada kekuasaan atau kekuatan uang. Ini bukan sekadar tanah – ini warisan, ini kehormatan keluarga kami!” tegas Selepeg.
Ia berharap Mahkamah Agung memeriksa kembali bukti-bukti yang telah ia sampaikan, termasuk silsilah keluarga dari tahun 1962 dan dokumen-dokumen asli yang tak terbantahkan. Jika kasasi ini pun gagal, maka keadilan bagi rakyat kecil seperti dirinya mungkin hanya akan menjadi mimpi.
“Saya tidak akan menyerah. Harapan kami sekarang ada di Mahkamah Agung dan mereka yang masih memiliki hati nurani untuk memutuskan dengan adil. Kami tidak meminta lebih, hanya hak kami sebagai keluarga yang sah,” tutup Selepeg, berharap suara rakyat kecil masih bisa didengar dalam sistem yang seringkali berpihak pada yang kuat.(RED)