Tak Bisa Bayar Gaji Pegawai, Bupati Pangandaran Nangis ke Dedi Mulyadi, Ini Penyebabnya

Jabar – Bupati Pangandaran, Citra Pitriyami selalu tak kuasa menahan air mata saat menyampaikan kondisi keuangan daerahnya kepada Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi di akibatkan Selama lima bulan terakhir, Pemerintah Kabupaten Pangandaran mengalami kesulitan membayar gaji dan tunjangan pegawai karna keterbatasan anggaran.

Hal tersebut diungkap langsung oleh Gubernur Dedi Mulyadi dalam video yang diunggah melalui akun Instagram resminya pada Sabtu (14/6/2025).

Dedi menyebut, situasi keuangan Pangandaran kini sangat mengkhawatirkan karena hampir seluruh pendapatan daerah habis untuk belanja pegawai.

“Bahkan Kabupaten Pangandaran kasihan banget tuh sama Ibu Bupatinya. Kalau ketemu saya selalu nangis. Kenapa? Karena tunjangan pegawainya sudah lima bulan tidak bisa dibayar. Kemampuan anggarannya sudah sangat terbatas,” kata Dedi.

Menurutnya, Bupati Citra telah berupaya keras mencari solusi, termasuk melakukan perjalanan ke Jakarta dan menemui berbagai pihak agar ada jalan keluar dari persoalan tersebut.

“Ibu Bupatinya sudah ke Jakarta, ke mana-mana untuk cari solusi. Dan saya juga sedang memikirkan bagaimana caranya membantu menyelesaikan ini,” tambahnya.

Dedi juga menyoroti ketimpangan antara daerah-daerah di pusat kota dengan wilayah terpencil seperti Pangandaran. Ia mengatakan, daerah yang jauh dari pusat pemerintahan provinsi cenderung bergantung pada aktivitas ekonomi seperti galian pasir, batu, bahkan pembabatan hutan. Namun, pendapatan dari sektor-sektor tersebut sangat kecil dan tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

Sementara itu, kota-kota besar dengan sektor pariwisata dan perhotelan justru menikmati pendapatan yang jauh lebih tinggi tanpa merusak alam.

“Pertanyaannya, apakah kabupaten-kabupaten yang fiskalnya rendah, yang sekolahnya masih jelek, jalan rusak, puskesmas tidak memadai, BPJS belum terbayar, mau uang yang dikumpulkan dari pajak dipakai buat rapat-rapat di hotel kota besar?” tegasnya.

Ia pun mengimbau agar pemerintah daerah lebih bijak dalam penggunaan anggaran, dan mendahulukan kebutuhan dasar masyarakat ketimbang kegiatan seremonial.

“Sudahlah, rapat cukup di kantor saja. Uang yang ada lebih baik dipakai untuk menyelesaikan persoalan rakyat,seperti bangun ” tutup Dedi.

Sumber : CNN Indonesia.com

Kang Dedi Mulyadi Disebut Sebagai Mulyono Jilid 2, Pengamat Politik : Beda Jauh

Jakarta – Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM) kini ramai dijuluki Mulyono jilid II hingga Jokowinya Sunda.Hal itu berkat aktivitasnya yang sering turun ke masyarakat, dan menjawab masalah langsung di lokasinya.

Di media sosial, aksi Kang Dedi itu dihubung-hubungkan dengan gaya politik Jokowi yang juga sering turun ke masyarakat, karib dengan sebutan blusukan.

Sehingga Jokowi pun meraih popularitas karena gaya blusukannya dan bisa menaiki anak tangga pimpinan eksekutif, dari Wali Kota Solo, Gubernur Jakarta hingga Presiden Indonesia dua periode (2014-2024).

Namun, pengamat politik Burhanuddin Muhtadi melihat perbedaan telak antara Dedi Mulyadi dan Jokowi.”Sebenarnya kalau menyebut seorang KDM (Kang Dedi Mulyadi) versi lain dari Jokowi, Jokowi versi 2.0, atau Mulyono Jilid 2, itu enggak seluruhnya benar juga sih,” kata Burhan, sapaan karib sang pengamat, saat bicara di program On Point with Adisty, Youtube Kompas TV, tayang Sabtu (10/5/2025).

Menurut Burhan, Dedi Mulyadi sangat artikulatif, sedangkan Jokowi tidak.

Seorang Dedi Mulyadi bisa menghadapi masalah dengan berdialog, diskusi hingga berdebat.

Burhan menyontohkan salah satu peristiwa yang membuat nama Dedi Mulyadi populer di Purwakarta.Saat itu dia menjabat Anggota DPRD Purwakarta (1999-2004).Setelahnya, ia menjadi Wakil Bupati dan Bupati Purwakarta.

“Kalau kita lihat jejaknya KDM ini, misalnya waktu dia menjadi anggota DPRD Purwakarta, waktu itu Purwakarta penuh dengan demo buruh.”

“Ketika koleganya dari anggota DPRD Purwakarta tidak mau menemui demo-demo buruh, dia temuin. Ramai terjadi perdebatan sangat sengit gitu ya, tetapi setelah demo itu dia justru populer karena berani mendebat dan sekaligus mengajak dialog mereka yang kontrak.”

“Setelah itu dia maju sebagai kepala daerah kan dan sukses,” papar Burhan.

Burhan menegaskan, seorang Jokowi tidak bisa seperti Dedi Mulyadi dalam hal berdialog seperti peristiwa dengan buruh itu.

“Sesuatu yang kalau kita bayangkan seorang Pak Jokowi agak beda. Pak Jokowi itu kan lebih banyak senyum, kalau ditanya, ‘Ya kok tanya saya’ gitu ka,” kata Burhan.

Sebaliknya, kata Burhan, Dedi Mulyadi juga tidak mungkin bersikap seperti Jokowi yang sedikit bicara.

“Itu enggak mungkin pernyataan itu keluar dari KDM. KDM pasti menjawab,” jelasnya.

Salah satu faktor perbedaan Dedi Mulyadi dengan Jokowi adalah latar aktivismenya di kampus.

“Karena latar belakangnya juga beda kan. Pak Jokowi latar belakang aktivismenya waktu mahasiswa di mapala, KDM aktivis murni ini, dia aktivis di HMI, aktif di organisasi kemudaan,” ujar Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia.(RLS)

SUMBER : akun fb PosMetro Medan