Madina – SahataNews | Reza Ryan Saputra Syukri Sutradara muda film Pangarasa angkat bicara terkait munculnya pro-kontra jelang penayangan pada (31/08/2025) mendatang.
Diberitakan BaswaraTimes, Mahasiswa ISI Padang Panjang itu pun memaparkan alasan di balik pembuatan film ini.
“Film Pangarasa mengangkat fenomena sosial yang terjadi di masa lampau, masyarakat tradisional, dan itu harus diakui sebagai bagian dari perjalanan rekonstruksi masyarakat menuju tatanan yang lebih modern,” kata Reza dalam keterangan tertulis pada Sabtu, (23/08/2025).
Alumni SMAN 2 Plus Panyabungan mengaku telah melakukan riset di beberapa daerah, termasuk di Sumatera Barat dan Jambi.
“Hal seperti ini terjadi di berbagai tempat, bukan hanya di Mandailing. Jadi, terlalu jauh kalau menariknya sampai pada titik merusak citra positif daerah.Apalagi ada yang sampai berpendapat dengan tayangnya film ini akan membuat rumah makan sepi,” jelas dia.
Melati Madina, jelas Reza, bisa memahami pro-kontra yang muncul di tengah-tengah masyarakat dan sampai ada yang berkomentar di media.
Hal itu, kata dia, karena selama ini dunia film tidak pernah menjadi perhatian serius di kabupaten ini.
“Kami telah menayangkan berbagai film dengan citra positif, tapi tidak menerima apresiasi dan masukan dari masyarakat yang pada hari ini begitu kuat menyudutkan kami seolah-olah telah mencoreng nama daerah. Kami tidak menyebut pangarasa sebagai budaya, melainkan fenomena sosial,” sebut dia
Reza juga mengungkapkan, dalam dunia perfilman, mengangkat kehidupan tradisional adalah hal yang wajar dan sah-sah saja.
Dia juga mencontohkan film Kuyang, Palasik, Perewangan, dan Santet yang tayang di televisi dan bioskop.
“Tidak sekalipun kita dengar bahwa itu menodai nama baik Kalimantan, Minangkabau, dan Jawa. Film-film itu hanya dimaknai sebagai fenomena sosial,” lanjut pria yang telah lama menggeluti dunia sinematografi ini.
Reza pun menegaskan tidak ada satu sen pun anggaran Pemkab Madina dalam proses pembuatan film ini.
Kehadiran Wakil Bupati Atika Azmi Utammi Nasution tak lebih dari dukungan terhadap kreativitas anak muda yang selama ini sering dipersoalkan.
“Menjadi lucu, ketika dukungan itu datang justru kita permasalahkan juga,” ujar dia.
Melati Madina, komunitas tempat Reza bernaung, telah belasan kali memproduksi film dan sinematografi dengan modal sendiri.
“Kami melihat dukungan Ibu Atika ini sebagai awal keterbukaan pemerintah daerah merangkul penggiat seni,” tutur dia.
Untuk mendapatkan penilaian yang fair, Reza menilai seharusnya masyarakat menyaksikan dulu film ini secara utuh.
“Tapi, kami sadar dalam dunia seni, cepat sekali muncul pro-kontra terlebih jika itu dianggap berkaitan dengan identitas kelompok atau daerah tertentu,” pungkas anak muda yang baru saja menyelesaikan studi perfilman di Padang Panjang, Sumbar.(Red)