JAKARTA – SAHATA | Pernikahan sering kali dianggap sebagai momen sakral yang membuka lembaran baru dalam kehidupan manusia. Namun, di tengah cepatnya perubahan zaman, angka pernikahan di Indonesia justru mengalami penurunan yang signifikan. Fenomena ini memunculkan pertanyaan: apakah penurunan ini sekadar tren sementara, atau tanda perubahan sosial yang lebih mendalam?
Menurut data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, jumlah pernikahan di Indonesia pada 2023 hanya mencapai 1.577.255. Angka ini menurun sebanyak 128.000 pernikahan dibandingkan tahun sebelumnya. Dalam satu dekade terakhir, penurunan ini bahkan tercatat mencapai 28,63 persen sebuah penurunan yang cukup mencolok dalam struktur sosial masyarakat.
Penyebab di Balik Angka yang Menurun
Fenomena ini memicu diskusi di berbaga kalangan, termasuk di antara para akademisi. Prof. Dr. Bagong Suyanto, Drs., M.Si., Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga, memberikan analisis menarik mengenai penyebabnya. Dalam wawancara dengan laman resmi UNAIR, beliau menyebutkan bahwa semakin terbukanya akses perempuan terhadap pendidikan dan pekerjaan menjadi salah satu faktor kunci yang berkontribusi terhadap penurunan angka pernikahan.
“Peluang perempuan untuk mengembangkan potensi diri kini semakin terbuka lebar. Mereka memiliki lebih banyak kesempatan untuk melanjutkan pendidikan tinggi dan berkarier, yang secara tidak langsung menurunkan ketergantungan mereka pada pernikahan,” jelas Prof. Bagong.
Selain itu, faktor lain yang turut berperan adalah semakin sulitnya kondisi ekonomi, terutama bagi kaum laki-laki. “Jumlah laki-laki yang mapan secara ekonomi juga semakin sedikit, karena peluang pekerjaan semakin menipis,” tambahnya.
Implikasi Sosial: Apa yang Bisa Kita Harapkan?
Fenomena penurunan angka pernikahan ini bukan hanya sekadar perubahan angka statistik, melainkan mencerminkan transformasi sosial yang lebih luas. Prof. Bagong menilai bahwa meskipun penurunan ini mungkin menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian orang, pada dasarnya fenomena ini adalah bagian dari konsekuensi perubahan sosial yang tak terhindarkan.
“Ini adalah perubahan yang wajar dan alami. Penurunan angka pernikahan tidak selalu menjadi hal yang harus diperbaiki, selama kita bisa memastikan bahwa ini memberi dampak positif bagi pemberdayaan perempuan dan masyarakat,” lanjutnya.
Lebih jauh lagi, ia juga mengingatkan bahwa penurunan angka pernikahan yang berkepanjangan bisa berujung pada penurunan angka kelahiran, yang akan membawa konsekuensi demografis jangka panjang.
Memaknai Kembali Pernikahan di Tengah Perubahan Zaman
Di tengah transformasi sosial ini, pandangan terhadap pernikahan mungkin perlu dimaknai ulang. Seiring berkembangnya peran perempuan di berbagai sektor kehidupan, pernikahan tidak lagi menjadi satu-satunya jalan menuju stabilitas atau kesuksesan dalam hidup. Kini, perempuan memiliki lebih banyak pilihan untuk menentukan jalur hidup mereka sendiri.
Namun, Prof. Bagong mengingatkan bahwa yang terpenting adalah bagaimana masyarakat dapat beradaptasi dengan perubahan ini, sambil tetap mempertahankan nilai-nilai positif yang ada dalam institusi pernikahan. “Pernikahan tetap menjadi hal penting, tetapi harus kita lihat dari perspektif yang lebih luas dan inklusif,” tutupnya.(Red)