Madina – SahataNews | Film Pangarasa yang tayang perdana Minggu, 31 Agustus 2025, di Ballroom Ladangsari, Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal (Madina), masih jadi buah bibir. Usai memicu pro dan kontra, kini budayawan Mandailing Askolani Nasution melontarkan catatan penting yang mengejutkan publik.
Menurutnya, Pangarasa hanyalah karya fiksi, bukan dokumenter. “Jangan mencari fakta di dalamnya. Film seperti ini tetap karya kreatif, murni produk sastra dalam bentuk sinematik,” tegas pria yang sudah menulis puluhan buku itu.
Meski begitu, Askolani mengapresiasi kualitas teknis film ini. Ia menilai sinematografi Pangarasa berada di atas rata-rata untuk kelas lokal, mulai dari naskah, bahasa gambar, efek visual, audio, hingga penyutradaraan.
“Meskipun ada catatan khusus, secara umum film ini layak jadi tontonan yang menghibur dan berkualitas,” jelas sutradara film Biola Namabugang tersebut.
Tak hanya soal teknis, Askolani juga membongkar makna linguistik judul Pangarasa. Dalam tata bahasa Mandailing, kata ini bermakna peyorasi atau konotasinya makin lama makin negatif. Padahal, awalnya kata rasa juga digunakan dalam konteks positif, termasuk ramuan penambah wibawa pemimpin.
Menurutnya, pemilihan judul itu wajar demi menarik perhatian penonton.
“Dalam sebuah produk, hal seperti itu sudah semestinya. Semua pekerja kreatif dan hiburan memahami pentingnya judul yang menarik,” ujarnya.
Lebih jauh, Askolani menegaskan bahwa setiap film memiliki nilai budaya, sebab mencatat perilaku manusia dalam satu fase sejarah, baik yang tampak maupun yang tidak.
Pada akhirnya, ia menyambut kehadiran Pangarasa sebagai bukti kreativitas generasi muda Mandailing Natal dalam memajukan perfilman daerah.
“Karya sinema tetap bagian dari produk budaya, meskipun bukan bagian dari Pokok-pokok Kebudayaan Daerah yang ditetapkan tahun 2018,” pungkasnya.(Red)



